Kehadiran seorang anak dalam keluarga
merupakan dambaan hampir setiap pasangan, terlebih bagi mereka yang baru
melangsungkan pernikahan untuk membentuk sebuah keluarga baru. Banyak
keluarga yang terpaksa mengadopsi anak manakala setelah sekian lama
mereka tidak juga dikaruniai seorang anak. Demikianlah, kehadiran
seorang anak di tengah-tengah keluarga memang sebuah anugerah yang tidak
bisa diperoleh setiap keluarga.
Apabila dilihat secara umum, kehadiran
anak dalam keluarga dapat dilihat sebagai faktor yang menguntungkan
orang tua dari segi psikologis, ekonomis dan sosial (Horowirz, 1985;
Suparlan, 1989; Zinn dan Eitzen, 1990). Hal ini dikarenakan :
Pertama, anak dapat lebih mengikat tali
perkawinan. Pasangan suami istri merasa lebih puas dalam perkawinan
dengan melihat perkembangan emosi dan fisik anak. Kehadiran anak juga
telah mendorong komunikasi antara suami istri karena mereka merasakan
pengalaman bersama anak mereka.
Kedua, orang tua merasa lebih muda dengan membayangkan masa muda mereka melalui kegiatan anak mereka.
Ketiga, anak merupakan simbol yang
menghubungkan masa depan dan masa lalu. Dalam kaitan ini, orang tua
sering menemukan kebahagiaan diri mereka dalam anak-anak mereka,
kepribadian, sifat, nilai, dan tingkat laku mereka diturunkan lewat
anak-anak mereka.
Keempat, orang tua memiliki makna dan tujuan hidup dengan adanya anak.
Kelima, anak merupakan sumber kasih sayang dan perhatian.
Keenam, anak dapat meningkatkan status
seseorang. Pada beberapa masyarakat, individu baru mempunyai hak suara
setelah ia memiliki anak.
Ketujuh, anak merupakan penerus
keturunan. Untuk mereka yang menganut sistem patrilineal, seperti Cina,
Korea, Taiwan, dan Suku Batak, adanya anak laki-laki sangat diharapkan
karena anak laki-laki akan meneruskan garis keturunan yang diwarisi
lewat nama keluarga. Keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki
dianggap tidak memiliki garis keturunan, dan keluarga itu dianggap akan
punah.
Kedelapan, anak merupakan pewaris harta
pusaka. Bagi masyarakat yang menganut sistem matrilineal, anak perempuan
selain sebagai penerus keturunan, juga bertindak sebagai pewaris dan
penjaga harta pusaka yang diwarisinya. Sedangkan anak laki-laki hanya
mempunyai hak guna atau hak pakai. Sebaliknya, pada masyarakat yang
menganut sistem patrilineal, anak laki-lakilah yang mewariskan harta
pusaka.
Kesembilan, anak juga mempunyai nilai
ekonomis yang penting. Di daerah pedesaan Jawa, anak sudah dapat
membantu orang tua pada usia yang sangat muda. White (1982) menemukan
bahwa umumnya anak mulai teratur membantu orang tua pada usia 7-9 tahun,
tetapi juga ditemukan beberapa kasus anak yang membantu sejak mereka
berumur 5-6 tahun. Anak laki-laki biasanya mengumpulkan rumput,
memelihara ternak, mengolah sawah atau pekarangan, menjaga adik, dan
mengambil air. Semakin besar usia mereka, semakin berat pekerjaan yang
harus mereka lakukan.