Salah apabila kita mengatakan bahwa pendirian Palang Merah di tahun
1863 ataupun pengadopsian Konvensi Jenewa pertama tahun 1864 menandakan
kelahiran hukum perikemanusiaan sebagaimana yang kita kenal saat ini.
Sebagaimana tidak ada satu masyarakat yang tidak memiliki seperangkat
aturan, begitu pula tidak pernah ada perang yang tidak memiliki aturan
jelas maupun samar-samar yang mengatur tentang mulai dan berakhirnya
suatu permusuhan, serta bagaimana perang itu dilaksanakan
HPI sudah terintis sejak dulu sebelum Gerakan
berdiri. Pada awalnya ada aturan tidak tertulis berdasarkan kebiasaan
yang mengatur tentang sengketa bersenjata. Kemudian perjanjian bilateral
(kartel) yang kerincian aturannya berbeda-beda, lambat-laun mulai
diberlakukan. Pihak-pihak yang bertikai kadangkala meratifikasinya
setelah permusuhan berakhir. Ada pula peraturan yang dikeluarkan oleh
negara kepada pasukannya (lihat “Kode Lieber”). Hukum yang saat itu ada
terbatas pada waktu dan tempat, karena hanya berlaku pada satu
pertempuran atau sengketa tertentu saja. Aturannya juga bervariasi,
tergantung pada masa, tempat, moral dan keberadaban.
Dari sejak
permulaan perang sampai pada munculnya hukum perikemanusiaan yang
kontemporer, lebih dari 500 kartel, aturan bertindak (code of conduct),
perjanjian dan tulisan-tulisan lain yang dirancang untuk mengatur
tentang pertikaian telah dicatat. Termasuk di dalamnya Lieber Code, yang
mulai berlaku pada bulan April 1863 dan memiliki nilai penting karena
menandakan percobaan pertama untuk mengkodifikasi hukum dan kebiasaan
perang yang ada. Namun, tidak seperti Kovensi Jenewa yang dibentuk
setahun setelah itu, Lieber Code ini tidak memiliki status perjanjian
sebagaimana yang dimaksudkannya karena hanya diberlakukan kepada tentara
Union yang berperang pada waktu Perang Saudara di Amerika.
Ada dua
pria memegang peran penting dalam pembentukan HPI selanjutnya, yaitu
Henry Dunant dan Guillaume-Henri Dufour. Dunant memformulasikan gagasan
tersebut dalam Kenangan dari Solferino (A Memory of Solferino),
diterbitkan tahun 1862. Berdasarkan pengalamannya dalam perang, General
Dufour tanpa membuang-buang waktu menyumbangkan dukungan moralnya, salah
satunya dengan memimpin Konferensi Diplomatik tahun 1864.
Terhadap
usulan dari kelima anggota pendiri ICRC, Pemerintah Swiss mengadakan
Konferensi Diplomatik tahun 1864, yang dihadiri oleh 16 negara yang
mengadopsi Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit
dalam angkatan bersenjata di medan pertempuran darat.
Definisi
Hukum Perikemanusiaan Internasional membentuk
sebagian besar dari Hukum Internasional Publik dan terdiri dari
peraturan yang melindungi orang yang tidak atau tidak lagi terlibat
dalam persengketaan dan membatasi alat dan cara berperang di masa
sengketa bersenjata.
Lebih tepatnya, yang dimaksud ICRC dengan hukum
perikemanusiaan yang berlaku di masa sengketa bersenjata adalah semua
ketentuan yang terdiri dari perjanjian dan kebiasaan internasional yang
bermaksud untuk mengatasi segala masalah kemanusiaan yang timbul pada
waktu pertikaian bersenjata internasional maupun non-internasional;
hukum tersebut membatasi atas dasar kemanusiaan, hak-hak dari pihak yang
terlibat dalam pertikaian untuk memilih cara-cara dan alat peperangan,
serta memberikan perlindungan kepada orang yang menjadi korban maupun
harta benda yang terkena dampak pertikaian bersenjata.
Kombatan hanya
boleh menyerang target militer, wajib menghormati non-kombatan dan
objek sipil dan menghindari penggunaan kekerasan yang berlebihan.
Istilah hukum perikemanusiaan internasional, hukum humaniter, hukum
sengketa bersenjata dan hukum perang dapat dikatakan sama pengertiannya.
Organisasi internasional, perguruan tinggi dan bahkan Negara cenderung
menggunakan istilah hukum perikemanusiaan internasional (atau hukum
humaniter), sedangkan istilah hukum sengketa bersenjata dan hukum perang
biasa digunakan oleh angkatan bersenjata. Palang Merah Indonesia
sendiri menggunakan istilah Hukum Perikemanusiaan Internasional.
Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag
Hukum Perikemanusiaan
Internasional (HPI) – dikenal juga dengan nama hukum sengketa bersenjata
atau hukum perang – memiliki dua cabang yang terpisah:
- Hukum
Jenewa, atau hukum humaniter, yaitu hukum yang dibentuk untuk melindungi
personil militer yang tidak lagi terlibat dalam peperangan dan mereka
yang tidak terlibat secara aktif dalam pertikaian, terutama penduduk
sipil;
- Hukum Den Haag, atau hukum perang, adalah hukum yang
menentukan hak dan kewajiban pihak yang bertikai dalam melaksanakan
operasi militer dan membatasi cara penyerangan.
Kedua cabang
HPI ini tidaklah benar-benar terpisah, karena efek beberapa aturan
dalam hukum Den Haag adalah melindungi korban sengketa, sementara efek
dari beberapa aturan hukum Jenewa adalah membatasi tindakan yang diambil
oleh pihak yang bertikai di masa perperangan. Dengan mengadopsi
Protokol Tambahan 1977 yang mengkombinasikan kedua cabang HPI, pembedaan
di atas kini tinggal memiliki nilai sejarah dan pendidikan.
Prinsip
Hukum perikemanusiaan didasarkan pada prinsip
pembedaan antara kombatan dan non-kombatan serta antara objek sipil dan
objek militer. Prinsip necessity atau kepentingan kemanusiaan dan
militer, perlunya menjaga keseimbangan antara kepentingan kemanusiaan di
satu pihak dengan kebutuhan militer dan keamanan di pihak lain. Prinsip
pencegahan penderitaan yang tidak perlu (unecessary suffering), yaitu
hak pihak yang bertikai untuk memilih cara dan alat untuk berperang
tidaklah tak terbatas, dan para pihak tidak diperbolehkan mengakibatkan
penderitaan dan kehancuran secara melampaui batas serta tidak seimbang
dengan tujuan yang hendak dicapai, yaitu melemahkan atau menghancurkan
potensi militer lawan. Prinsip proporsionalitas, mencoba untuk menjaga
keseimbangan antara dua kepentingan yang berbeda, kepentingan yang
berdasarkan pertimbangan atas kebutuhan militer, dan yang lainnya
berdasarkan tuntutan kemanusiaan, apabila hak atau larangannya tidak
mutlak.
Aturan Dasar
ICRC telah memformulasikan tujuh aturan yang
mencakup inti dari hukum perikemanusian internasional. Aturan-aturan ini
tidak memiliki kekuatan hukum seperti sebuah perangkat hukum
internasional dan tidak dimaksudkan untuk menggantikan
perjanjian-perjanjian yang berlaku.
- Orang yang tidak atau tidak
dapat lagi mengambil bagian dalam pertikaian patut memperoleh
penghormatan atas hidupnya, atas keutuhan harga diri dan fisiknya. Dalam
setiap kondisi, mereka harus dilidungi dan diperlakukan secara
manusiawi, tanpa pembedaan berdasarkan apa pun.
- Dilarang untuk membunuh atau melukai lawan yang menyerah atau yang tidak dapat lagi ikut serta dalam pertempuran.
- Mereka yang terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh
pihak bertikai yang menguasai mereka. Personil medis, sarana medis,
transportasi medis dan peralatan medis harus dilindungi. Lambang palang
merah atau bulan sabit merah di atas dasar putih adalah tanda
perlindungan atas personil dan objek tersebut di atas, dan harus
dihormati.
- Kombatan dan penduduk sipil yang berada di bawah
penguasaan pihak lawan berhak untuk memperoleh penghormatan atas hidup,
harga diri, hak pribadi, keyakinan politik, agama dan keyakinan lainnya.
Mereka harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan ataupun balas
dendam. Mereka berhak berkomunikasi dengan keluarganya serta berhak
menerima bantuan.
- Setiap orang berhak atas jaminan peradilan
dan tak seorangpun dapat dituntut untuk bertanggungjawab atas suatu
tindakan yang tidak dilakukannya. Tidak seorangpun dapat dijadikan
sasaran penyiksaan fisik maupun mental atau hukuman badan yang kejam
yang merendahkan martabat ataupun perlakuan lainnya.
- Tidak satu
pun pihak bertikai maupun anggota angkatan bersenjatanya mempunyai hak
tak terbatas untuk memilih cara dan alat berperang. Dilarang untuk
menggunakan alat dan cara berperang yang berpotensi mengakibatkan
penderitaan dan kerugian yang tak perlu.
- Pihak bertikai harus
selalu membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dalam rangka
melindungi penduduk sipil dan hak milik mereka. Penduduk sipil, baik
secara keseluruhan maupun perseorangan tidak boleh diserang. Penyerangan
hanya boleh dilakukan semata-mata kepada objek militer.
Konvensi Jenewa
Konvensi Jenewa 1864 meletakkan dasar-dasar bagi hukum perikemanusiaan modern. Karakter utamanya adalah:
- Aturan tertulis yang memiliki jangkauan internasional untuk melindungi korban sengketa;
- Sifatnya multilateral, terbuka untuk semua negara;
- Adanya kewajiban untuk melakukan perawatan tanpa diskriminasi kepada personil militer yang terluka dan sakit;
- Penghormatan dan pemberian tanda kepada personil medis, transportasi
dan perlengkapannya menggunakan sebuah lambang (palang merah di atas
dasar putih).
Diawali dengan Konvensi Jenewa pertama
tahun 1864, hukum perikemanusiaan modern berkembang dalam berbagai
tahap, seringkali setelah sebuah kejadian di mana konvensi tersebut
dibutuhkan, untuk memenuhi kebutuhan akan bantuan kemanusiaan yang terus
berkembang sebagai akibat dari perkembangan dalam persenjataan serta
jenis-jenis sengketa.
Perang Dunia I (1914-1918) menyaksikan
penggunaan cara perang yang, (kalau tidak dapat dikatakan baru)
dilakukan dalam skala yang tidak dikenal sebelumnya. Termasuk di
dalamnya gas beracun, pemboman dari udara, dan penangkapan ratusan
tawanan perang. Perjanjian di tahun 1925 dan 1929 merupakan tanggapan
dari perkembangan ini.
Perang Dunia II (1939-1945) menyaksikan
penduduk sipil dan personil militer tewas dalam jumlah yang seimbang,
berbeda dengan saat Perang Dunia I, di mana perbandingannya adalah 1:10.
Tahun 1949 masyarakat internasional bereaksi terhadap angka yang tragis
tersebut, terlebih lagi terhadap efek buruk yang menimpa penduduk
sipil, dengan merevisi Konvensi yang saat itu sedang berlaku dan
mengadopsi perangkat hukum lain: Konvensi Jenewa ke-4 tentang
perlindungan terhadap penduduk sipil. Belakangan di tahun 1977, Protokol
Tambahan merupakan tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang
kemerdekaan nasional, yang hanya diatur sebagian di dalam Konvensi 1949.
Keempat
Konvensi Jenewa menegaskan penghormatan yang harus diberikan kepada
setiap pribadi pada masa sengketa bersenjata. Keempat Konvensi tersebut
adalah:
- Perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan pertempuran darat
- Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata di laut yang luka, sakit dan korban karam
- Perlakuan tawanan perang
- Perlindungan penduduk sipil di waktu perang
Protokol Tambahan 1977
Protokol Tambahan merupakan
tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan nasional, yang
hanya diatur sebagian di dalam Konvensi 1949. Dua protokol tambahan
diadopsi, yang menguatkan perlindungan terhadap korban sengketa
internasional (protokol I) dan sengketa non-internasional (protokol II).
Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 terdiri hampir 600
pasal dan merupakan perangkat utama hukum perikemanusiaan internasional.
Hanya sebuah negara yang dapat menjadi peserta perjanjian
internasional, begitu pula untuk menjadi peserta Konvensi Jenewa dan
Protokol Tambahannya. Di tahun 2002 hampir semua negara di dunia – 190
tepatnya – menjadi peserta Konvensi Jenewa. Fakta bahwa perjanjian ini
merupakan salah satu yang diterima di sejumlah besar negara membuktikan
kesemestaannya. Sedangkan mengenai Protokol Tambahannya, 157 negara
menjadi peserta Protokol I dan 150 peserta Protokol II.
HPI dan HAM
Hukum perikemanusiaan internasional dan hukum
hak asasi manusia internasional (selanjutnya disebut hukum HAM) saling
melengkapi. Keduanya bermaksud untuk melindungi individu, walaupun
dilaksanakan dalam situasi dan cara yang berbeda. HPI berlaku dalam
situasi sengketa bersenjata, sedangkan hukum HAM atau setidaknya
sebagian daripadanya, melindungi individu di setiap saat, dalam masa
perang maupun damai.
Tujuan dari HPI adalah melindungi korban dengan
berusaha membatasi penderitaan yang diakibatkan oleh perang, hukum HAM
bertujuan untuk melindungi individu dan menjamin perkembangannya.
Kepedulian
utama HPI adalah mengenai perlakuan terhadap individu yang jatuh ke
tangan pihak lawan dan mengenai metode peperangan, sedangkan hukum HAM
pada intinya mencegah perlakuan semena-mena dengan membatasi kekuasaan
negara atas individu. Hukum HAM tidak bertujuan untuk mengatur
bagaimana suatu operasi militer dilaksanakan. Untuk memastikan
penghormatannya, HPI membentuk suatu mekanisme yang mengadakan sebuah
bentuk pengawasan terus-menerus atas pelaksanaannya; mekanisme itu
memberi penekanan pada kerjasama antara para pihak yang bersengketa
dengan penengah yang netral, dengan tujuan untuk mencegah pelanggaran.
Sebagai konsekwensinya, pendekatan ICRC yang perannya menjamin
penghormatan terhadap HPI memberikan prioritas pada persuasi.
Mekanisme
untuk memonitor hukum HAM sangat bevariasi. Dalam banyak kasus, lembaga
yang berwenang dituntut untuk menentukan apakan sebuah negara telah
menghormati hukum. Contohnya, Mahkamah HAM Eropa, setelah penyelesaian
pendahuluan oleh seseorang, dapat menyatakan bahwa Konvensi HAM Eropa
telah dilanggar oleh penguasa negara. Penguasa ini selanjutnya wajib
untuk mengambil langkah yang perlu untuk memastikan bahwa situasi
internal itu sesuai dengan persyaratan yang diminta oleh Konvensi.
Mekanisme pelaksanaan HAM pada intinya bermaksud untuk meluruskan segala
kerusakan yang terjadi.