“Pornografi memiliki sifat adiktif atau menyebabkan ketagihan. Jika
di masa anak-anak atau remaja mereka sudah mengenal dunia ini dan
ketagihan, mungkin saja akan terbawa sampai dewasa. Mereka pun akan
memiliki persepsi yang salah mengenai hubungan seks yang sehat dan
sesuai dengan norma sosial serta agama,” ujar Vera Itabiliana K Hadiwidjojo, Psi.
Berikut ini wawancara dengan psikolog
Universitas Indonesia dan membuka praktik di Lembaga Psikologi Terapan
UI dan Klinik Raditya Medical Center Depok, Jawa Barat.
Anak-anak di bawah umur melakukan pesta seks. Kira-kira apa yang membuat mereka bisa melakukan ini?
Ini merupakan gabungan dari banyak faktor yang dapat
melatarbelakangi kejadian ini, antara lain pengaruh tontonan dari TV,
internet, rasa ingin tahu anak yang besar, keinginan untuk diterima di
kelompok pergaulannya, penanaman nilai agama yang kurang di keluarga.
Juga komunikasi yang kurang hangat dan terbuka dengan orangtua
khususnya mengenai masa pubertas termasuk masalah seks, kurangnya pula
pendidikan moral dan pendidikan mengenai seks termasuk risiko seks
bebas atau seks di bawah umur di sekolah.
Mereka tidak hanya melakukan sekali. Mengapa terjadi demikian? Apakah anak-anak sudah bisa menikmati aktivitas yang seharusnya dilakukan orang dewasa ini?
Di usia mereka yang rata-rata sudah atau hampir memasuki masa
pubertas di mana organ-organ reproduksi mulai matang dan dorongan
seksual sudah ada, iya mereka sudah dapat menikmati. Kalau pun belum,
mereka bisa saja melakukan karena takut dengan ancaman akan ditinggal
teman kelompok pergaulannya. Takut dibilang tidak setia kawan, tidak
gaul dan sebagainya.
Apakah ini berarti anak-anak itu menjadi lebih dewasa dari umurnya atau bagaimana?
Anak-anak bisa cepat matang secara seksual atau lebih dewasa dari
umurnya bisa saja terjadi akibat pengaruh tontonan atau
informasi-informasi yang bersifat pornografi.
Apakah nantinya ada pengaruhnya saat mereka sudah dewasa?
Pornografi memiliki sifat adiktif atau menyebabkan ketagihan. Jika
di masa anak-anak atau remaja mereka sudah mengenal dunia ini dan
ketagihan, mungkin saja akan terbawa sampai dewasa. Mereka pun akan
memiliki persepsi yang salah mengenai hubungan seks yang sehat dan
sesuai dengan norma sosial serta agama.
Apakah memang anak-anak di bawah umur telah memiliki hasrat seksual?
Untuk yang belum memasuki masa puber, belum. Tapi kalau yang sudah,
bisa saja. Perempuan biasanya memasuki masa puber di usia 10-11 tahun,
laki-laki di usia 11-12 tahun.
Ke depan bagaimana untuk mengantisipasi agar ini tidak terjadi lagi untuk mereka maupun anak-anak lainnya?
Orangtua punya peranan sangat penting dalam hal ini. Jalin
komunikasi yang baik dengan anak, dalam arti bukan sekadar bertanya
tentang pelajaran atau PR sekolah), secara rutin sediakan waktu untuk
ngobrol santai dengan anak sehingga anak merasa nyaman untuk
menceritakan hal-hal yang membuat resah, misalnya ajakan teman untuk
mencoba sesuatu yang negatif. Pendidikan seks pun penting untuk
diberikan pada anak baik di rumah maupun di sekolah, khususnya tentang
apa risiko dari seks bebas seperti kehamilan atau tertular penyakit.
Ada pula anak 13 tahun yang membunuh temannya
sendiri karena dendam. Anak ini membunuh temannya dengan memakai
celurit karena kesal sering diejek. Mengapa sadisme ini menghinggapi
anak?
Ini juga pengaruh dari tontonan atau games yang berbau kekerasan
(termasuk berita-berita kriminal, berita kerusuhan, demo yang anarkis),
sehingga anak dengan mudah meniru cara pemecahan masalah lewat cara
kekerasan. Anak yang sering terpapar dengan kekerasan juga akan
kehilangan kepekaaannya terhadap korban kekerasan karena merasa itu hal
biasa.
Bagaimana memproteksi anak-anak tanpa menjadi over protected?
Seperti yang tadi telah saya kemukakan, komunikasi adalah hal
terpenting untuk dipelihara. Tanamkan nilai agama lewat kebiasaan
sehari-hari yang tidak menekan atau memaksa yang justru malah dijauhi
anak, dampingi anak ketika menonton TV atau membuka internet, belikan
anak alat komunikasi seperti HP yang sesuai dengan kebutuhannya, tidak
perlu yang ada akses internetnya, misalnya. Libatkan anak dalam
aktivitas positif di mana dia bisa punya teman dan wadah untuk
mengekspresikan diri sekaligus memperoleh eksistensi diri seperti
olahraga dan seni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar